Selasa, 16 Juli 2013

Angklung



Angklung Tradisional

Angklung Baduy Tidak diketahui dari mana asal-usul Angklung Baduy dan sejak kapan jenis Angklung ini mulai muncul. Penyebarannya pun tidak terlalu luas. Hal ini diperkirakan karena bentuk pertunjukannya yang monoton dan membosankan bagi yang melihatnya. Pada masyarakat Baduy Jero, Angklung Baduy dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung upacara adat tradisional menghormati Sang Hyang Asri atau Dewi Sri sebagai dewi pertanian dan kesuburan. Upacara tersebut dikenal dengan nama ngaseuk pare, yaitu upacara yang dilaksanakan saat penanaman benih padi di ladang, dan upacara ngampihkeun pare, yaitu pada saat mengangkut padi hasil panen ke lumbung.
Angklung Baduy terdiri dari empat buah ancak yang masing-masing disebut king-king, indo, panempas, dan gong-gong. Dog-dog dan bedug berfungsi sebagai pengiring irama lagu dan tempo irama. Para pemain mengenakan pakaian kampret hitam atau putih, lomar, dan iket. Jumlah pemain mencapai lima belas orang, terdiri dari sembilan orang yang memainkan angklung, tiga orang pemain bedug, dan yang lainnya bertindak sebagi penari.
Dalam permainannya, Angklung dan dog-dog mengiringi mereka yang bernyanyi dan menari (ngalagu jeung ngalage). Nyanyian dilakukan dengan cara bersahut-sahutan, sambil menari, dan bergerak berkeliling. Lagu-lagu yang dimainkan antara lain berjudul Ayun-ayunan, Bibi Lenjang, Cik Arileu, Hiah-hiah Panjang, Jari Gandang, Keupat Rendang, Lili-liyang, Nganteh, Ngaseh, Oray-orayan, Pong-pok, Salaela, Yandi Bibi, Ketek-ketek, dan Pileuleuyan.
Angklung Buncis
Angklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Diceritakan, Pak Bonce yang sehari-hari bekerja sebagai pembubu ikan di sungai, suatu saat mendapati sungai tempat ia menyimpan bubu meluap dilanda banjir. Banjir tersebut menghanyutkan beberapa batang bambu yang kemudian ia bawa pulang dan disimpan di atas tungku. Setelah kering, bambu-bambu tersebut dipukul-pukul dan ternyata menghasilkan bunyi yang bagus dan nyaring. Bambu-bambu tersebut kemudian diolah dan dibuat alat musik Angklung. Angklung tersebut lalu dinamakan Angklung Buncis. Pak Bonce membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.
Angklung Buncis dimainkan sebagai kesenian yang mengiringi upacara – upacara rakyat atau acara-acara yang melibatkan orang banyak, di antaranya upacara nginebkeun pare atau mengangkut padi dari sawah ke rumah, upacara heleran atau pawai mengiringi anak khitanan dari rumah anak yang dikhitan ke rumah bengkong (pengkhitan), acara perkawinan, dan dalam menyambut hari-hari besar nasional.
Angklung Gubrag
Pada zaman dahulu, Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh dengan baik. Penduduk meyakini bahwa musibah tersebut terjadi akibat kemarahan Dewi Sri yang sedang murung karena kurang mendapat hiburan, atau sedang murka kepada penduduk. Penduduk yang juga meyakini bahwa Dewi Sri bersemayam di angkasa kemudian melakukan berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk. Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling, pertunjukan karinding, dan lain-lain.
Namun usaha-usaha tersebut tidak membawa hasil. Dewi Sri tetap tidak berkenan turun ke bumi, dan tanaman padi penduduk tetap tidak tumbuh dengan baik. Akhirnya, tampillah kemudian seorang pemuda yang bernama Mukhtar. Ia mengajak kawan-kawannya pergi ke Gunung Cirangsad untuk menebang pohon bambu surat. Bambu tersebut kemudian dikeringkan dan sambil melakukan mati geni selama empat puluh hari, Mukhtar mengolah bambu-bambu tersebut menjadi waditra Angklung. Angklung tersebut lalu disempurnakan dengan ditambahkan dua buah dog-dog lojor. Ia kemudin mengajarkan permainan Angklung kepada penduduk dan mengatur suatu upacara bagi Dewi Sri, dengan mempergunakan kesenian Angklung sebagai media. Ternyata setelah upacara tersebut, tanaman padi penduduk tumbuh dengan baik, subur, dan butir-butirnya pun begitu bernas.
Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa Dewi Sri telah menerima upacara tersebut, dan berkenan turun ke bumi memberikan berkah kesuburannya. Karena Angklung tersebut ternyata mampu memikat Dewi Sri untuk turun dari langit (dalam bahasa Sunda Ngagubrag), Angklung tersebut kemudian dinamakan Angklung Gubrag. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara seren taun, yaitu upacara besarbesaran pada akhir tahun panen. Selain itu, Angklung Gubrag juga dimainkan pada upacara-upacara hajatan keluarga, perhelatan hari raya, hari-hari besar nasional, dan acara-acara lain yang menyangkut dan melibatkan orang banyak.
Angklung Bungko
Angklung Bungko terdapat di Desa Bungko yang terletak di perbatasan antara Cirebon dan Indramayu. Angklung Bungko yang pertama dibuat diyakini telah berusia lebih dari 600 tahun. Walaupun begitu, Angklung Bungko pertama masih ada, tersimpan dengan baik, walaupun sudah tidak bernada lagi. Angklung Bungko pertama ini selalu disertakan dalam setiap pergelaran kesenian Angklung Bungko sebagai simbol resminya pergelaran tersebut. Angklung Bungko dilestarikan oleh seorang tokoh masyrakat bernama Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, setelah dipergunakan sebagai kesenian yang mengiringi penduduk Desa Bungko berperang melawan serangan bajak laut. Oleh Ki Gede Bungko, Angklung Bungko kemudian dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung penyebaran agama Islam. Selain jenis-jenis Angklung tersebut, masih banyak lagi jenis-jenis Angklung lain yang tersebar di hampir seluruh pelosok daerah Jawa Barat. Tercatat ada Angklung Jinjing yang kerap dimainkan dalam acara-acara hiburan, ada kesenian Angklung tanpa vokal di daerah Kanekes, kesenian Angklung dengan lirik berupa susualan di daerah Panamping, kesenian Angklung Sered di daerah Tasikmalaya yang berupa perlombaan memainkan waditra Angklung bagi anak-anak, dan lainlain.
Salah satu usaha pelestarian dan pengembangan kesenian Angklung tradisional telah dilakukan oleh Udjo Ngalagena melalui program pelatihan kesenian Angklung tradisional di sanggar seni Saung Angklungnya, di mana tiap – tiap peserta pelatihan diharuskan mempelajari dan menguasai dulu Angklung tradisional sebelum melangkah ke pelatihan Angklung modern atau kesenian Sunda lainnya yang telah dimodifikasi.

Sumber : www.angklung-udjo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar